Jam kyu

Tuesday, September 24, 2013

Aku, Kamu dan Kenangan



Indonesia… negeri kaya dengan dua musim. Musim hujan dan musim kemarau. tak ada musim yang paling ku sukai. Musim kemarau aku benci debunya. Musim hujan aku benci petirnya. Tapi setelah ada kamu, aku meyukai kedua musim tersebut. Bahkan menikmatinya. Di saat musim hujan, kita bersama menari di antara hujan. Ketika musim kemarau, kita berkejaran di sawah kering, membuat sumur kecil, bermain layang-layang dan menikmati senja. Kita memang kompak dan tidak mau kalah dengan anak-anak kecil yang juga bermain bersama.
Beib, apakah kamu ingat awal kita bertemu dulu? Ketika itu musim hujan. Aku hendak ke sekolah. Karena aku tak punya payung, setiba di depan gerbang aku langsung berlari menghindari basah. Aku terjatuh. Pakaianku basah dan kotor. Aku malu, semua orang mentertawakanku. Tiba-tiba kamu mengulurkan tanganmu. Aku tak meraihnya karena marah pada mereka. Kamu tersenyum seraya berucap “Jika kamu diam di situ terus, orang-orang akan semakin mentertawakanmu. Lagian aku rasa kamu perlu bangun dan pergi ke UKS. Tanganmu tergores batu!”. Kamu berlalu tanpa mengulurkan tangan seperti tadi. Aku pergi ke UKS. Seperti melihat badut, setiap mereka yang ku lalui melihatku dengan tatapan yang entahlah yang jelas mereka mentertawakanku.
Setibanya di UKS aku kaget, ternyata ada kamu lagi. “De, tolong bikinkan surat ijin untuk orang ini. Dia tak mungkin mengikuti pelajaran dengan kondisi sekarang!” tanpa meminta persetujuanku kamu menyuruh juniormu membuat surat izin untuku. Memang benar dengan kondisi seperti ini, mana mungkin aku mengikuti kegiatan belajar mengajar. Tapi setidaknya kamu harus meminta persetujuanku terlebih dahulu.
Tiba-tiba kamu menarik tanganku. Membuatku kaget sekaligus gugup. Kamu membasuh lukaku dan mengobatinya. Tanganmu sungguh lembut. Wajahmu teduh. Princes pikirku. Walau bagaimanapun aku ini laki-laki normal. Jantungku berdegup lebih kencang tidak seperti biasanya. Keringatku mulai keluar. “Kenapa kamu melihatku seperti itu? Ada yang aneh?” tiba-tiba kamu membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum kikuk. Jujur, di depanmu aku gugup. “Oh ya, kamu diam saja di sini sampai bel pulang berbunyi…” kamu berlalu. Aku berkedip.
Bel istirahat pun berbunyi. Semua anak berhamburan keluar. Bak para napi dapat grasi. Perutku pun mulai keroncongan. Mau beli makanan aku malu. Nanti jadi bahan tontonan mereka. Tiba-tiba kamu datang dengan membawa bungkusan. “Ni, aku bawain makanan. Aku tahu kamu pasti lapar tapi malu untuk membelinya.” Aku enggan menerima. “Atau mau sekalian aku suapin…?” aku langsung merebut bungkusan nasi itu dan langsung memakanya. “Nah gitu dong, anak yang baik. Ngomong-ngomong, kamu tambah cakep kalau lagi kelaparan!” Aku tak pernah menyangka orang secantik kamu pintar menggombali cowo. Aku benar-benar kalah di hadapanmu. Kamu duduk di sampingku, sambil memainkan Ipad mu.
“Eh, aku mau ikutan lomba nih. Denger-denger kamu anak bahasa ya! Jadi tolong nanti kamu baca cerpenku ini, terus kamu kasih komen deh.” Kamu memberikan tab mu padaku. Aku bingung, kita baru ngobrol dekat hari ini. Apakah kamu tidak takut aku mencuri Ipadmu?
Aku baca cerpenmu. Aku ingin menjadi lilin. Begitulah kamu memberi judul. Aku tertarik dengan tulisanmu, jadi aku membacanya. Aku kagum padamu, bukan karena tulisanmu yang bagus. Lebih karena makna yang terkandung di dalamnya.
Bel pulang pun berbunyi. Untuk kedua kalinya para siswa berhambur keluar. Kamu datang dengan senyumu. Manis sekali.
“Apakah kamu sudah membacanya?”
“Ya.”
“Bagaimana menurutmu?”
“Bagus.”
“Bagusnya seperti apa?”
“Makna yang ingin kau sampaikan pada pembaca! Oh ya, kenapa kamu tidak menjadi matahari saja?”
“Apakah aku layak menjadi matahari?”
“Kenapa tidak? Setiap orang bebas punya mimpi!”
“Aku lebih tahu diriku. Jadi, mungkin cukup hanya menjadi lilin saja.”
“Kamu meragukan kemampuanmu?”
“Justru aku meyakini kemampuanku. Karena itu aku memilih untuk menjadi lilin.”
“Bolehkah aku menjadi sesuatu yang kau terangi?”
Kamu kaget. Sepertinya aku salah berucap.
“Kenapa kamu menginginkan aku menjadi lilin untukmu? Bukankah kamu bisa menjadi matahari dan memilih bulan mana yang akan kamu terangi?”
Kamu pandai bermain kata. Aku tak mau kalah. Hatiku sudah jatuh padamu.
“Bukan kan lilin menyala karena ada yang harus ia terangi? Aku lebih tahu diriku. Dan aku ingin ada seseorang yang menerangiku. Aku tak mungkin terus hidup dalam gelap.”
“Kenapa kamu tidak mencari matahari saja yang lebih bisa menerangimu?”
“Matahari… Aku terlalu kecil untuk ia terangi. Makanya aku lebih memilih lilin!”
Kamu tersenyum. Aku yakin, kamu kalah kali ini.
“Oh ya, aku mau pulang dulu. Rasanya ga baik berduaan di tempat yang sepi. Orang-orang sudah pada pulang.” Kamu mencatat sesuatu di secarik kertas. Lalu memberikanya padaku. Sebuah nomor dan di bawahnya ada tulisanmu “Share denganmu menarik. Lain kali kamu yang harus mengalah.” Aku tertawa. Senang rasanya.
Musim Kemarau Pertama…
Hari-hari kita lalui. Dan akhirnya kita resmi menyandang status pacaran. Saat itu adalah musim kemarau pertama dalam hubungan kita.
“Ay, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat!”
“Kemana beib… malas jalan banyak debu!”
“Pokoknya harus ikut!”
Terpaksa aku mengikuti maumu. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dan kita pun sampai. Aku ternganga, sawah kering… apa maumu. Kamu berlari menuju gerombolan anak-anak.
“Ay, ayo sini. Kita buat sumur-sumuran.”
“Main sumur-sumuran? Kaya anak kecil saja!”
“Kamu lupa ya, bahwa dulu kamu… aku… juga pernah menjadi anak kecil.”
“Tapi itu kan dulu.”
“Iya, aku tahu. Tapi apakah kamu ga mau mengenang masa itu? Masa kecil itu adalah masa paling menyenangkan. Masa paling merdeka.” Kamu merentangkan tanganmu. Aku bingung dengan tingkahmu. Di balik keanggunanmu, ada sesuatu yang unik. Aku pun datang dan mulai menggali.
“Anak-anak, kita buat sumur-sumuran bersama. Yang paling cepat sumurnya dapat mata air, nanti aku kasih permen!” Aku kaget. Sebenarnya kamu ini makhluk apa…
Aku menggali semampuku. Kamu terus bertepuk tangan sambil berteriak… Ayo… Ayo… Ayo.
“Ay, kamu isi air ya? Jangan bilang kamu kencing di situ?”
“Enak aja. Mata airnya sudah keluar.”
“Coba aku cek!” Kamu mendorongku dan memasukan tanganmu ke dalam sumur-sumuran itu. Memastikan bahwa air yang menggenangi sumur berasal dari mata air.
“Hore… aku menang… aku menang!” Kamu berlari-lari mengelilingi sawah. Anak-anak kecewa karena tidak mendapatkan permen. Aku kebingungan melihat tingkahmu yang menurutku ga kamu banget. Atau jangan-jangan kamu kesurupan penghuni sawah?
Akhirnya acara sumur-sumuran pun selesai.
“Ga terasa ya, senja udah datang. Indah banget. Hmm…”
Aku melihat kamu tersenyum. Senyuman yang membuatku terus merindu. Aku tak menghiraukan senja karena senyumanmu lebih menarik.
“Ay… ada layang-layang putus…!” Kamu tiba-tiba berlari mengejar layangan itu. Aku hanya bisa terpaku menatap tingkahmu. Baru sesaat tadi kamu seperti anak-anak, kemudian berubah menjadi anggun, dan sekarang menjadi tomboi. Aku melihat kamu melambaikan tangan dari kejauhan. Sambil mengangkat layang-layang yang putus tadi. Kamu mendapatkanya. Aku berlari ke arahmu.
“Ay… kamu lihat ga, tadi aku hebat banget kan? Aku bisa ngalahin mereka. Dan tara… ini hasilnya.” Kamu memeluk layang-layang itu. Jelaslah kamu yang akan mendapatkan layang-layang itu, lawanmu tak sebanding. Komentarku dalam hati. Aku tersenyum demi membuatmu senang.
“Beib… Kita pulang yuk!”
“Bentar lagi, senjanya belum habis…”
“Coba deh, liat bajumu… Kotor. Aku ga mau disalahin sama calon mertuaku karena balikin anaknya dalam keadaan kaya gini malem-malem. Jadi mendingan kita pulang sekarang.”
“PD banget. Ya udah… Nih!” tersirat di wajahmu kekecewaan. Kamu memberikan layang-layang itu dan berlalu. Aku mengikutimu dari belakang.
“Oh ya Ay… Besok kesini lagi ya! Kamu harus nerbangin layang-layang itu dan mengadunya bersama layang-layang lain!”
“Ga janji.”
Musim Hujan Pertama…
“Hujan… Ay, hujan.” Kamu berlari ke luar. Membiarkan dirimu menyatu dengan air mata langit itu. Seolah-olah ingin meluruhkan sesuatu. Kamu lupa bahwa tujuan kita bertemu adalah untuk belajar bersama. Bukan untuk hujan-hujanan bersama.
“Beib… Nanti kamu sakit. Lagian ngeri kalau nanti ada petir.”
“Kamu takut ya Ay? Btw, tolong buatkan aku perahu.” Aku membuatkan perahu pesananmu, kamu datang dan tanpa ku duga kamu menarik tanganku.
“Mana perahunya!”
“Ni.”
“Langit, aku tak tahu kemana perahu ini kan bermuara. Semoga dengan persembahan perahuku ini, kamu akan memberi kami pelangi!”
“Oi…”
“Apa-apaan sih Ay. Aku lagi memberi persembahan nih. Apa aku terlihat aneh?”
“Sangat. Lebih aneh dari pada Kugy!”
“Jangan samain aku sama agen Neptunus itu.”
“Terus…”
“Ya begitu.”
“Begitu gimana?”
“Seperti yang kamu lihat.” Aku tak berani berdebat lagi. Bisa panjang. Kamu pun menengadah dan merentangkan tangan. Lalu berputar-putar.
“Ay… Coba deh ikutin aku. Rasakan setiap butir-butir air yang menyentuh kulit kita. Sambil mencium bau tanah. Resapi… Hayati… Oh…”
Aku mengikuti saranmu. Aku seperti mendengar alam bersuka cita. Kamu menghentikan ritual itu. Aku pun mengikutinya. Sekarang kamu memegang tanganku. Dan mengajaku berputar bersama. Ada kehangatan. Berada di dekatmu sungguh membuatku damai. Kini giliranku menghentikan ritual ini. Ku tarik tubuhmu yang basah. Kudekap… dan kucium keningmu. Akankah aku bisa memilikimu selamanya… Batinku.
Foto Untuk Undangan…
“Kenapa sih harus di sisni?”
“Ini sawah sayangku!”
“Aku tahu beib. Maksudku, tak bisakah kita berfoto di tempat lain?”
“Sawah ini tempat penuh kenangan Ayang.”
Dengan pakaian pengantin ini kita menggali sumur-sumuran. Beberapa anak juga ikut kami foto bersama. Katanya biar natural. Kita juga bermain layang-layang dan mengejar layang-layang. Bukan hanya itu, kita juga berfoto sambil menunggang kerbau. “Ini akan menjadi foto pernikahan paling jenius yang pernah di buat.” Katamu. Bukan jenius, tapi gila.
Penikahan …
Aku sudah tahu kegilaanmu. Tapi aku tak menyangka jika lagi-lagi harus di sawah. Beginilah jadinya pernikahan kita. Konsep pernikahan pesta panen. Pagar ayu dan Bagar bagus kamu suruh didandani dengan pakaian petani. Tempat perasmananpun di saung-saung. Menurutku ini lebih mirip restauran sunda yang sedang ada pameran gaun pengantin?
“Ay… Kamu tampak semakin gagah dengan pakaian adat ini!”
“Beib… Kamu juga tampak semakin cantik!”
Saat ini…
“Beib, apakah kamu rindu masa-masa itu?’”
“Ah kamu. jangan panggil aku beib lagi. Ini sudah tidak pada masanya. Malu didengar cucu-cucu kita…”
“Sekarang kita sudah tak bisa lagi melakukannya.”
“Kata siapa? Kita bisa buat sumur-sumuran lagi. Kita bisa bermain layang-layang lagi dan mengejar layang-layang yang putus. Kita bisa menari di antara hujan. Bersama cucu kita tentunya…”
“Apakah kamu sudah gila? Tubuh kita semakin merenta. Dari dulu kamu memang aneh.”
“Kamu terlalu banyak berfikir sayang. Khawatir ini itu. Coba bebaskan sedikit. Aku mau tanya, apa yang kamu takutkan dulu pernahkah terjadi? Tidak bukan! Buktinya kita masih bisa bernafas hingga saat ini. Oh ya, aku memang aneh. Tetapi kamu lebih aneh karena memilih orang aneh untuk menjadi pendampingmu.” Dia tersenyum.
“Ok. Kita main layang-layang bersama cucu kita. Tapi kamu harus janji, jangan lari mengejar layang-layang putus!”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Aku kira kamu bercanda!”
“Apa mau dibatalkan?”
“Jangan. Ok, aku panggil dulu cucu kita.”
Kami pun pergi menuju sawah. Tiba-tiba…
“Layangan putus…!” Dia spontan berlari mengejar layang-layang. Di susul cucuku. Aku mematung.
End

0 comments:

Post a Comment