Surakarta - Perkembangan seni tradisi mengalami hambatan serius dewasa
ini. Secara perlahan, pelaku kesenian tradisi semakin langka sehingga
seni tradisi terancam punah.
Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Media dan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Harry Waluyo,
berpendapat, seni tradisi semakin ditinggalkan karena dianggap musyrik
dan bidah.
Sebab, seni tradisi biasanya berakar dari tradisi yang hidup di
masyarakat. "Dan dalam perkembangannya, seni tradisi sangat erat dengan
religi," ujarnya kepada wartawan seusai dialog seni tradisi di
Surakarta, Ahad, 9 Desember 2012.
Salah seorang pembicara, I Wayan Dibia, menilai seni tradisi
ditinggalkan karena sering dianggap kuno dan usang. "Padahal ada inovasi
dan kreasi baru dalam seni tradisi. Hanya tidak sedahsyat seni
kontemporer," katanya.
Dia mengatakan ada kesepakatan bahwa perubahan dalam seni tradisi tidak
bisa frontal. Sebab, perubahan itu harus bisa diterima masyarakat luas.
Harry mengatakan, apa pun yang terjadi, seni tradisi Indonesia harus
terus eksis. Salah satu caranya dengan memanfaatkan teknologi.
Nilai yang dikandung seni tradisi tetap dipertahankan, tetapi kemasannya
dibantu teknologi agar lebih menarik. "Lalu sebisa mungkin memanfaatkan
ruang publik untuk mementaskan seni tradisi. Tidak hanya secara fisik,
tapi juga ruang publik di dunia maya," katanya.
Wayan Dibia menekankan perubahan cara pandang generasi muda terhadap
seni tradisi. Generasi muda harus ditanamkan bahwa jika ingin menjadi
orang modern, terlebih dahulu harus memperkuat seni tradisi.
Seni tradisi menjadi dasar dari pengembangan seni modern. "Kalau tidak
punya dasar, seni modern yang dihasilkan tidak punya identitas dan jati
diri," tutur Wayan Dibia, yang juga Rektor Institut Seni Indonesia
Denpasar.
Upaya tersebut bisa dimulai dengan memperbanyak penulisan tentang seni
tradisi. Jadi generasi muda sadar bahwa Indonesia adalah negara
adibudaya.
Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Juju Masunah, mengatakan, seni tradisi
dapat terus tumbuh karena sudah bertransformasi menjadi industri
kreatif.
Menurut dia, saat ini seniman seni tradisi memproduksi produk atau karya
untuk dijual ke wisatawan. "Akhirnya terjadilah perkawinan antara seni
tradisi dan ekonomi kreatif," katanya dalam kesempatan yang sama.
Untuk mengembangkan potensi seni daerah, pihaknya menyelenggarakan
pergelaran mahakarya seni tradisi di Institut Seni Indonesia Surakarta
pada Ahad malam ini.
Dalam pergelaran akan ditampilkan Tari Bedhaya Bedah Madiun dari Jawa
Tengah, Tari Srimpi Renggowati dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Tari
Piriang di Ateh Kato dari Padang, Tari Topeng Adiningrum dari Cirebon,
Tari Baris Gede dari Bali, dan Tari Pakarena dari Makassar.TEMPO.CO,
Bagai disergap kesunyian saat tari Bedhaya Diradameto membuka
pertunjukan malam itu.
Bedhaya Diradameto merupakan tari yang sudah berusia hampir 100 tahun,
bagian dari seni tari Keraton Mangkunegaran Surakarta, dan tidak pernah
dipentaskan ke hadapan publik sebelumnya. Tariannya mengisahkan
pertempuran penuh keberanian Pangeran Sambernyawa dengan tentara VOC di
Sitakepyak, selatan Rembang.
Selain itu ada pula koreografer Belanda, Gerard Mosterd, ikut
mementaskan karyanya dalam libreto berjudul L'Historie du Soldat, yang
dibawakan secara jenaka. Melibatkan penari Eko Supriyanto, Martinus
Miroto, Sri Qadariatin, dan narator Jamaluddin Latif.
Indonesia Dance Festival (IDF) memasuki tahun penyelenggaraan kesebelas.
Sebagai sebuah festival tari berskala internasional, IDF hendak
merangkul masyarakat tari Indonesia, baik penari tradisional maupun
kontemporer.
Tahun ini yang diusung adalah Indonesia Menari. Selama sembilan hari ke
depan IDF akan mementaskan karya para penata tari yang antara lain asal
Indonesia, Jepang, Korea, Jerman, Aljazair, Taiwan, Finlandia, Inggris,
Perancis, Tunisia, Belgia, dan Kamboja.
Gelaran pentas direncanakan setiap hari di berbagai tempat yang berbeda,
yakni Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, dan Institut
Kesenian Jakarta. Sementara sejumlah acara dalam rangka IDF telah
digelar sejak bulan Februari lalu. Rangkaian kegiatan itu seperti
seminar tari, lomba tari, dan bengkel kerja koreografi.
Gerakan Indonesia Menari ini diusung oleh Djarum Apresiasi Budaya,
Indonesian Dance Festival (IDF), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI
Jakarta, serta Ikatan Abang None Jakarta (IANTA). Tujuannya untuk
menarik masyarakat Indonesia kembali mencintai budaya tari yang hampir
dilupakan oleh masyarakat.
"Menari adalah pesan yang ingin disampaikan sepanjang rangkaian acara
ini. Sebab tarian selalu identik dengan kegembiraan, keluwesan, dan
harmonisasi. Menari sama seperti mengajak semua warga untuk kreatif
membangun bangsa karena keluwesan tak hanya diciptakan oleh gerakan
tubuh tapi juga pola pikir," tutur Maria Darmaningsih, Direktur IDF.
Ia menambahkan, tarian mengasah kepekaan insan dalam merayakan
kehidupan. Bila rasa peka itu hilang, kita juga kehilangan empati kepada
lingkungan sekitar kita.
(Gloria Samantha. Sumber: Kompas)
Kampung
Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4
ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang
menghubungkan Tasikmalaya – Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih
pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya.
Kampung Naga
dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat
istiadat peninggalan Ieluhumya. Hal ini akan terlihat jelas
perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung
Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan
dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang
lekat.
Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer.
Untuk
menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus
menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi
sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak
kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai
Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari,
bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan
produktivitas tanah bisa dikatakan subur.
tasikkk
(naga vilage)
Luas
tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar
digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan
untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Daya
tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari
komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat
berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat
memlihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat,
upacara hari-hari besr Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif
dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini
dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti
acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.
Bentuk
bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai
pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun
kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan
lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu
bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara
atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata
letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen
Perkampungan Naga.
OBYEK WISATA
Obyek wisata ini merupakan
salah satu obyek wisata budaya di Tasikmlaya Wisatawan biasanya
memiliki minat khusus yaitu ingin mengetahui dan membuktikan secara
nyata keadaan tesebut. Pengembangan obyek wisata Kampung Naga termasuk
dalam jangkuan pengembangan jangka pendek.
SEJARAH
Sejarah/asal
usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa
kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang
abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam
ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang
menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di
tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah
Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus
bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia
harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Nenek
moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi
masyarakat Kampung Naga “Sa Naga” yaitu Eyang Singaparana atau Sembah
Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan
di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat
Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat
diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.
Namun kapan Eyang
Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak
seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan
yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung
Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan
di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam,
dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat
Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung
Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog
Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan
Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti,
dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan
“kewedukan”. Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara
Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai
ilmu kekuatan fisik “kabedasan”. Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di
Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian
atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon
menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.
Sumber : www.tasikmalaya.go.id, dieny-yusuf.com, www.westjava-indonesia.com
Tari Hudoq adalah bagian ritual suku Dayak Bahau dan Dayak Modang, yang
biasa dilakukan setiap selesai manugal atau menanam padi, pada bulan
September – Oktober. Semua gerakannya, konon dipercaya turun dari
kahyangan. Berdasarkan kepercayaan suku Dayak Bahau dan Dayak Modang,
Tari Hudoq ini digelar untuk mengenang jasa para leluhur mereka yang
berada di alam nirwana. Mereka meyakini di saat musim tanam tiba roh-roh
nenek moyang akan selalu berada di sekeliling mereka untuk membimbing
dan mengawasi anak cucunya. Leluhur mereka ini berasal dari Asung Luhung
atau Ibu Besar yang diturunkan dari langit di kawasan hulu Sungai
Mahakam Apo Kayan. Asung Luhung memiliki kemampuan setingkat dewa yang
bisa memanggil roh baik maupun roh jahat. Oleh Asung Luhung, roh-roh
yang dijuluki Jeliwan Tok Hudoq itu ditugaskan untuk menemui manusia.
Namun karena wujudnya yang menyeramkan mereka diperintahkan untuk
mengenakan baju samaran manusia setengah burung. Para Hudoq itu datang
membawa kabar kebaikan. Mereka berdialog dengan manusia sambil
memberikan berbagai macam benih dan tanaman obat-obatan sesuai pesan
yang diberikan oleh Asung Luhung. Dari kisah itulah, nama Hudoq melekat
di masyarakat Dayak Bahau dan Modang. Tarian ini dilakukan erat
hubungannya dengan upacara keagamaan, dengan maksud untuk memperoleh
kekuatan mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan
diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Para penari Hudoq
ini biasanya berjumlah 13 orang yang melambangkan 13 dewa pelindung dewa
Hunyang Tenangan, dewa yang memelihara tanaman padi. Di sela-sela
kerimbunan semak belukar dan pepohonan mereka mulai mengenakan kostum
yang terbuat dari daun pisang hingga menutupi mata kaki dan topeng kayu
yang menyerupai binatang buas. Daun pisang adalah lambang kesejukan dan
kesejahteraan. Sementara itu, warna pada Topeng Hudoq, biasanya
didominasi oleh warna merah dan kuning, yang dipercaya sebagai warna
kesukaan para dewa. Topeng warna merah ini merupakan gambaran perwujudan
dewa Hunyang Tenangan. Sebelum tarian Hudoq dimulai, terlebih dahulu
digelar ritual Napoq. Napoq adalah prosesi sakral yang wajib dilakukan
setiap kali hendak menyelenggarakan Hudoq. Ritual ini dipimpin oleh
seorang Dayung yakni orang yang memiliki kemampuan supranatural untuk
berkomunikasi langsung dengan para Hudoq. Dengan didampingi dua
asistennya, Dayung berkeliling kampung sambil membunyikan mebang atau
gong kecil. Yang berfungsi sebagai alat komunikasi penyapaan kepada para
roh-roh penjaga desa, bahwa Napoq sedang dilakukan. Selanjutnya, Dayung
akan memanggil dan meminta kepada penguasa alam semesta yang memiliki
empat sapaan yakni Tasao, Tuhan Pencipta; Tanyie', Tuhan Penjaga;
Tawe'a, Tuhan Penuntun dan Tagean, Tuhan Yang Berkuasa; agar
penyelenggaraan hudoq dapat berjalan aman dan lancar. Kemudian, para
Hudoq dijamu makan siang oleh sang Dayung, dengan cara menyuapi para
penari yang telah dirasuki titisan dewa yang mengenakan topeng Hudoq.
Setelah makan siang, Dayung pun melakukan komunikasi dengan para Hudoq,
yang disebut dengan Tengaran Hudoq. Komunikasi ini, menggunakan bahasa
Dayak yang santun dan halus, yang hanya bisa diterjemahkan oleh sang
Dayung. Dari komunikasi ini, biasanya diketahui kelanjutan hasil
bercocok tanam, apakah panennya berhasil atau tidak. Dayung pun meminta,
agar para Hudoq melindungi tanaman mereka dari serangan hama. Kemudian,
ritual dilanjutkan dengan kegiatan ugaaitan atau menarik nyawa padi.
Dalam ritual ini, para Hudoq berbaris sejajar, yang urutannya
disesuaikan dengan kelas sosial para dewa. Para dewa dengan kelas sosial
tertinggi berada di barisan terdepan. Sambil membaca mantera, para
Hudog menarik nyawa padi sebanyak tujuh kali. Tari Hudoq biasanya
digelar di tengah lapangan atau sawah yang akan ditanami. Dengan ritme
cukup tinggi, para penari Hudoq melakukan gerakan Nyidok atau Nyebit
yaitu gerakan maju sambil menghentak kaki. Disusul dengan gerakan Ngedok
atau Nyigung yaitu menghentak¬kan kaki dengan tumit diiringi gerakan
tangan yang mengibas-ngibas layaknya gerakan sayap seekor burung yang
sedang terbang. Gerakan ini bermakna untuk mengusir hama penyakit agar
tidak menyerang tanaman padi. Secara umum, gerakan tarian ini mengandung
makna memutar ke kiri untuk membuang sial dan memutar ke kanan untuk
mengambil kebaikan.
Sumber Asli : http://dunialain-laindunia.blogspot.com/2009/04/tari-hudoq-dari-kalimantan-timur.html
Copyright dunialain-laindunia.blogspot.com |
DALAM
suatu kesempatan, seniman Butet Kertaredjasa pernah bertutur,
"Budayawan juga pejuang, yang memperjuangkan budayanya, untuk tidak
direbut oleh negara tetangga. Maka dari itu, harus pintar." Kalimat yang
keluar dari mulut Butet, menurut beberapa kalangan, mungkin dirasa
berlebihan.
Namun pernyataan itu akhirnya benar-benar terbukti
juga! Di saat banyak kasus klaim atas budaya Tanah Air oleh negara
tetangga, Malaysia, barulah kita terbakar amarah dan merasa cinta pada
kebudayaan tradisional. Pada saat itulah kita sadar bahwa budayawan yang
mungkin selama ini dianggap sebagai sosok yang biasa-biasa saja,
akhirnya dianggap sebagai sosok yang penting, bahkan vital dalam
mempertahankan citra kebudayaan nasional.
Pilu rasanya saat
kebudayaan kita diklaim oleh Malaysia. Tidak hanya satu, tetapi banyak
yang diklaim. Jika menilik lebih dalam, tidak sedikit dari kita pun yang
memang kurang apresiasi terhadap kesenian tradisional di Indonesia.
Kalau begitu siapa yang salah? Malaysia jelas tetap bersalah! Adapun
kita sebagai masyarakat Indonesia juga patut memperbaiki diri agar lebih
apresiatif terhadap kebudayaan yang kita miliki.
Adapun
apresiasi terendah terhadap seni tradisional Indonesia barangkali lebih
besar menghinggapi kalangan muda. Betapa tidak, pertunjukkan musik
modern memang sudah mendarah daging di kalangan mayoritas anak muda saat
ini. Berdesak-desakan untuk menonton konser musik modern tampaknya
memang menjadi suatu hal yang lumrah.
Takut disebut "nggak gaul",
pementasan kesenian tradisional pun ditinggalkan. Melihat permasalahan
ini, jalan yang bisa ditempuh untuk memajukan kebudayaan nasional yang
di dalamnya mencakup kebudayaan tradisional, tiada lain harus diawali
dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap kesenian daerah.
Rasa
cinta inilah yang nantinya mendorong kita, khususnya pemuda, memiliki
rasa ingin tahu terhadap kesenian masing-masing daerah dan menghargai
kesenian tersebut. Di sisi lain, event pertunjukkan seni tradisional
juga harus diperbanyak. Pihak lain tentu tidak akan berani mencuri apa
yang kita anggap berharga, sedangkan kita sendiri memiliki pengetahuan
yang mendalam dengan kesenian tersebut.
Kita tentu tidak rela
lagu Rasa Sayange dari Maluku, reog ponorogo hingga tari pendet dari
Bali diklaim kepemilikannya oleh bangsa asing. Pemuda sebagai penduduk
terbanyak di negeri ini jelas memiliki peran besar sebagai apresian seni
tradisional. Melalui tangan pemudalah kesenian kita bisa berkembang
jika diapresiasi dengan baik.
Tidak hanya itu, kaum muda jualah
yang nantinya bertindak sebagai penerus dan pemelihara kesenian
tradisional karya anak bangsa yang tersebar di berbagai pelosok negeri.
Budayawan kita tentu tidak bisa selamanya mengurus keberlangsungan
kesenian daerah yang ada selama ini. Mari kita apresiasi budaya
Indonesia.(*)
Sumber: Okezone
Setelah
jalan jalan di google terbersit mencari kisah awal mula musik dangdut,
yang dahulu dikatakan sebagai musik kere. sebenarnya hal yang salah jika
kita menganggapnya seperti itu, soalnya banyak diantaranya musisi
penyanyi dan pesinetron beralih ke musik dangdut walau dengan cita rasa
berbeda, karna proghita bisa membaginya menjadi 2 bagian,
dangdut
klasik dan dangdut modern. Apakah dangdut koplo termasuk dangdut
modern?, jelas kalo dari suara yang dihasilkan itu adalah musik dangdut
tetapi lebih mempunyai sentuhan kedarahan dimana musik koplo berkembang,
sebut saja jawa timur sebagai komunitas musik dangdut koplo terpopular
dan telah meyakinkan koplo masuk di jajaran dangdut modern dengan
berbagai alat musik import.
Di priangan timur pun merebak jenis
musik dengan istilah PONGDUT, kepanjangan dari “jaipong dangdut”. dan
berkembang awal dari komunitas musisi calung, dan selama bertahun-tahun
akhirnya bisa bertahan walau tidak sehebat musik dangdut koplo. dangdut
jaipong atau jaipong dangdut atau Pongdut ini juga telah bergeser
menjadi musik dangdut modern, soalnya sebelum pentas di jaman awal
perkenalanya justru lebih banyak ke seni tradisionalnya dalam hal ini
seni sunda calung, tetapi sekarang seni tradisinya sudah di tinggalkan
walaupun ada porsinya lebihsedikit.
Perkembangan musik dangdut
diatas jelas proGhita tau karena saya sebagai penulis sempat menjadi
penggemar kedua musik dangdut diatas. Benarkah? Yup benarlah karena
sebelum menjadi seorang blogger saya sempat menjadi penyiar dangdut di
salah satu radio di priangan timur.
Selain dangdut diatas dari dulupun jenis musik dangdut modern telah ada, seperti hous dangdut, pop dangdut bahkan dangdut jazz:)
Sekarang kita simak perjalanan musik dangdut semenjak awal selmat membaca :
Aliran musik DangDut lahir setelah ajaran Islam masuk ke Indonesia yang sudah bercampur dengan aliran musik India.
Musik
ini mulai tumbuh dan berakar sekitar tahun 1940.Musik ini dipengaruhi
oleh unsur musik India yg diambil dari alat musiknya yang bernama Tabla
atau musik yg menggunakan gendang.Sedangkan cengkok dan harmonisasinya
merujuk ke musik Arab.Akhirnya dipadukan oleh pengaruh musik barat yang
mulai marak di akhir tahun 1960-an dengan menggunakan gitar
listrik..Dangdut bisa dikatakan lebih matang sejak tahun 1970-an.Ciri
Khas musik dangdut diiringi oleh gendang suling dan joget yang gemulai.
Mengapa dinamakan DangDutDangdut
kental dengan alat musik gendang. Suara gendang menghasilkan bunyi DANG
dan DUT. Ada juga yang mengatakan “dangdut” ini berasal dari istilah
atau sebutan sinis dari kalangan masyarakat kaum pekerja melayu pada
masa itu berdasarkan sebuah artikel majalah awal th 70-an.
Musik ini
jauh berbeda dengan musik tradisional asli Indonesia.Tetapi ada sedikit
kemiripan khususnya dari adat tradisional melayu.Perjalanan musik
Dangdut mengalami perubahan yang seknifikan dari masa kemasa.Dan
akhirnya Musik Dangdut sudah membooming di Indonesia bahkan di
Mancanegara.
By
Herdy Mertadinata
http://www.proghita.com/
Budaya Nusa Tenggara Timur
Provinsi NTT kaya akan ragam budaya baik bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera dalam di bawah ini:
Jumlah Bahasa Daerah
Jumlah bahasa yang dimiliki cukup banyak dan tersebar pada pulau-pulau yang ada yaitu:
Pengguna Bahasa di Nusa Tenggara Timur
Timor, Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil disekitarnya: Bahasanya
menggunakan bahasa Kupang, Melayu Kupang, Dawan Amarasi, Helong Rote,
Sabu, Tetun, Bural:
Alor dan pulau-pulau disekitarnya:
Bahasanya menggunakan Tewo kedebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola,
Taangla, Pui, Kolana, Kui, Pura Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso
Flores dan pulau-pulau disekitarnya: Bahasanya menggunakan melayu,
Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka, lio, Lio Ende, Naga
Keo, Ngada, Ramba, Ruteng, Manggarai, bajo, Komodo
Sumba dan
pualu-ulau kecil disekitarnya: Bahasanya menggunakan Kambera, Wewewa,
Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka, Loli, Kodi
Jumlah Suku /Etnis
Penduduk asli NTT terdiri dari berbagai suku yang mendiami daerah-daerah yang tersebar Diseluruh wilayah NTT, sebagai berikut:
Helong: Sebagian wilayah Kabupaten Kupang (Kec.Kupang Tengah dan Kupang Barat serta Semau)
Dawan: Sebagian wilayah Kupang (Kec. Amarasi, Amfoang, Kupang Timur,
Kupang Tengah, Kab timor Tengah selatan, Timor Tengah Utara, Belu (
bagian perbatasan dengan TTU)
Tetun: Sebagian besar Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste
Kemak: Sebagian kecil Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste
Marae: Sebagian kecil Kab. Belu bagian utara dekat dengan perbatasan dengan
Negara Timor Leste
Rote: Sebagian besar pulau rote dan sepanjang pantai utara Kab Kupang dan pulau
Semau
Sabu / Rae Havu: Pulau Sabu dan Raijua serta beberapa daerah di Sumba
Sumba: Pulau Sumba
Manggarai Riung: Pulau Flores bagian barat terutama Kan Manggarai dan Manggarai
Barat
Ngada: Sebagian besar Kab Ngada
Ende Lio: Kabupaten Ende
Sikka-Krowe Muhang: Kabupaten Sikka
Lamaholor: Kabupaten Flores Timur meliputi Pulau Adonara, Pulau Solor dan
sebagian Pulau Lomblen
Kedang: Ujung Timur Pulau Lomblen
Labala: Ujung selatan Pulau Lomblen
Pulau Alor: Pulau Alor dan pulau Pantar.
BUDAYA FLORES TIMUR
Flotim
merupakan wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan
kabupaten Alor di timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut
Flores dan selatan, laut Sawu.
Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot.
Konsep
rumah adat orang Flotim selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual
suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan
(wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
Pelapisan
social masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk
pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala
sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba kemudian, disusul
suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari suku
Mehen.
Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang dinilainya
sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang
dibantu suku Ketawo.
Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat dalam ungkapan sebagai berikut:
Ola tugu,here happen, lLua watana,
Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka lewo gewayan, toran murin laran.
Artinya:
Bekerja
di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di
gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi
kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
BUDAYA SIKKA
Sikka
berbatasan sebelah utara dengan laut Flores, sebelah selatan dengan
Laut Sabu, dan sebelah timur dengan kabupaten Flores Timur, bagian barat
dengan kabupaten Ende. Luas wilayah kabupaten Sikka 1731,9 km2.
Ibu
kota Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap ke pantai utara, laut
Flores. Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan
Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi
kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai
selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama
penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal
menjadi tuan tanah di wilayah ini.
Pelapisan sosial dari
masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang
terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman
dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan,
di samping pemilikan harta warisa keluarga maupun nenek moyangnya.
Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi
bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap
masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan
ketiga yakni Mepu atau Maha.
Secara umum masyarakat kabupaten
Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2) ata Krowe, (3)
ata Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4)
ata Goan, (5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata
Sabu/Rote, (10) ata Bura.
Mata pencaharian masyarakat Sikka
umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb: Bulan Wulan Waran -
More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun, menanam,
menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret)
masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan
Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan
menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja
pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus -
September).
BUDAYA ENDE
Batas-batas wilayahnya yang
membentang dari pantai utara ke selatan itu adalah dibagian timur dengan
kabupaten Sikka, bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan laut
Flores, selatan dengan laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim
daerah ini pada umumnya tropis dengan curah hujan rata-rata 6096
mm/tahun dengan rata rata jumlah hari hujan terbanyak pada bulan
November s/d Januari.
Daerah yang paling terbanyak mendapat hujan
adalah wilayah tengah seperti kawasan gunung Kalimutu, Detusoko,
Welamosa yang berkisar antara 1700 mm s/d 4000 mm/tahun.
Nama
Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende,
atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat
bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke 14 pada waktu
orang-orang maleyu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai
sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende.
Ende/Lio
sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan.
Meskipun demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao
Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas
yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu.
Meskipun secara
administrasi masyarakat yang disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang
jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan
(tereitorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende.
Pola
pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari
keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak)
kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di
rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara
tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Lapisan
bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan
menengah disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa.
Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata
Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan budak dati Ata Hoo
disebut Hoo Tai Manu.
BUDAYA NGADA
Ngada merupakan kabupaten
yang terletak diantara kabupaten Ende (di timur) dan Manggarai (di
barat). Bajawa ibu kotanya terletak di atas bukit kira-kira 1000 meter
di atas permukaan laut. Masyarakat ini dikenal empat kesatuan adat
(kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang
berbeda.
Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada,
(3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri
kekrabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka.
Arti
keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat
dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol
dalam pemersatu
(satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama
membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekrabatan
dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama
atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok
(rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu
Sao Saka puu.
Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah
terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya).
Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran
terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu,
Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.
Pelapisan
sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan
pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan
sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan
golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae
(bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan
Bheku (bangsawan keempat).
Para istri dari setiap pelapisan
terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan
tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah
mulai pemasukan dan pengeluaran.
Masyarakat Nagekeo pendukung
kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba
(kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam
arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan
adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.
BUDAYA MANGGARAI
Manggarai
terletak di ujung barat pulau Flores, berbatasan sebelah timur dengan
kabupaten Ngada, barat dengan Sealat sapepulau Sumbawa/kabupaten Bima,
utara dengan laut Flores dan selatan dengan laut Sabu.
Luas
wilayah 7136,14 km2, wilayah ini dapat dikatakan paling subur di NTT.
Areal pertanian amat luas dan subur, perkebunan kopi yang membentang
disebahagian wilayahnya, curah hujan yang tinggi yaitu dalam setahun
mencapai 27,574 mm, sepertiga dari jumlah itu (lebih dari 7000mm) turun
pada bulan Januari.
Ibu kota Manggarai terletak kira-kira 1200 meter di atas permukaan laut, di bawa kaki gunung Pocoranaka
Pembentukan
keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak
Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang
Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam
sistim kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe
(turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan
keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang
(saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak
dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema
(bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki),
dan Enu (saudara wanita atau istri).
Strata masyarakat Manggarai
terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan),
kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge
(rakyat jelata).
Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang
tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang
bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). Kaum Gelarang ini
merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara
golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu
terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan
berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat
dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat
kelahirannya.