Jam kyu

Cerpen



Perasaan Yang Terpendam

Waktu itu tepatnya saat masa orientasi SMA aku mengenalmu. Namun aku tak tau kapan rasa ini ada sebab aku tak pernah menyadarinya. Sejak saat perkenalan itu pula ternyata aku dan dia satu kelas saat itulah aku semakin dekat dengan dia. Bercanda bareng ngerjain tugas bareng saling tukar pikiran satu sama lain. Hingga akhirnya aku merasakan sesuatu hal yang nampaknya perasaan ini lebih dari seorang teman. Tiap waktu aku selalu terbayang bayang wajahnya senyumannya kata kata motivasinya.
Suatu ketika dia tidak masuk sekolah aku merasa kesepian aku juga takut jika harus kehilangannya. Saat dia di dekatku rasanya jantung ini berdegup kencang aku merasa malu dan jadi salah tingkah tapi kalau dia jauh aku merasa galau banget. Aku bingung perasaan ini dinamakan apa. Aku bimbang dan ragu ini perasaan hanya sekedar ngefens atau cinta. Sahabatku bilang kalau ini cinta.
Saat itulah aku berusaha perhatian sama dia curi curi pandang memberikan dukungan saat dia main futsal. Aku dan dia semakin dekat. Aku slalu memikirkanya dan berharap dia juga memikirkanku. Aku berharap banget kalau aku bisa jadi tulang rusuknya. Jlebb… ketika aku pinjam hp nya ternyata dia sudah punya kekasih. Berakhirlah sudah harapan ini airmataku tak lagi mampu aku bendung. HP langsung aku kembalikan tanpa rasa berdosa aku bersikap cuek terhadapnya.
Aku hanyalah seorang wanita yang terlalu takut mengungkapkan perasaan ini, aku hanya mampu memendamnya saja. Akhirnya aku tersadar aku terlalu egois, ini bukan salah dia tapi salahku yang telah mencintainya. Dari sinilah aku belajar berfikir lebih dewasa bahwa cinta itu tak harus diungkapkan yang penting pembuktiannya. Aku yakin kalau jodoh tidak akan kemana kok

Hingga Aku Lelah Menanti

Setiap malam aku selalu melihat jauh keatas, ketempat yang tidak kutahu batasannya. Aku memandangi bintang-bintang kecil yang bertaburan diangkasa. Sembari berharap bahwa mala mini dia akan muncul di hadapanku. Meski akhirnya aku tahu harapanku akan tetap jadi harapan yang sia-sia disetiap malam begitupun malam ini.
“bintang.. kamu tahu kan perasaan aku? Tapi kenapa kamu diem aja? Dia dimana? Dia dating kan malam ini?”
Aku masih ingat betul bagaimana dia dating dan mengucapkan janjinya beberapa tahun silam. Dia memintaku untuk tetap mencintainya, apapun yang akan terjadi. Aku ingat, aku dan dia sama-sama sangat menyukai indah kemerlip bintang. Hingga dia mampu berjanji bahwa suatu saat nanti dia akan dating dan menyinariku disaat bintang-bintang tak lagi ada yang bersinar.

“bintangnya cantik ya? Sama kaya kamu. Cantik! ….. kamu tahu? Aku selalu ingin jadi bintang yang bersinar disetiap malam kamu.” Kenangku.
Aku selalu menangis. Bukan menangisi janjinya yang tak kunjung menjadi nyata. Air mataku selalu terurai bersama kerinduan yang menjelma dalam hatiku. Kerinduan yang selalu mengundang amarah orang tuaku.
“kamu itu mau sampai kapan terus menreus berkhayal seperti itu to nduk.” Ibu selalu menganggap semua ini hanyalah khayalan belaka.

Memang, jika saja logikaku lebih bisa berjalan dengan semestinya, apa yang ibu bilang memang lebih benar. Tapi pada kenyataannya logikaku selalu membuncah terkalahkan rasa yang terus menggelayuti batinku. Batin yang berjanji untuk selalu menanti….
Februari 2008
Sadarkah aku saat malam berhenti menyapa.
Saat bulan tak lagi memberiku sinar.
Tak pernah aku tahu tentang itu.
Tak pernah aku perduli tentang itu.

Tapi…
Adakah yang mengerti sakitku ini.
Menahan sayatan tajam didalam hati.
Hanya kau jawabnya!!!!!
Kau yang mampu bangkitkanku dari sini.

Aku bangkit bersama cintamu.
Bersama jajaran kasih tulusmu.
Hingga kusandarkan jiwaku disini.
Sampai kapanpun tetap akan disini.
….. untukmu….
-jiwa fatamorgana-

* * * * *
Aku terhenyak. Begitu lama aku meninggalkan duniaku, dunia yang ada bersama diriku sendiri. Aku tahu bahwa sebuah kebodohan itu sebenarnya adalah keinginanku sendiri. Keinginan yang perlahan-lahan tak lagi aku mengerti.
Aku mungkin sudah terlampau jauh melangkah. Terlampau banyak pula kisah yang aku tinggalkan. Tapi tetap tidak untuk satu kisah dan satu nama. Nama yang telah membuatku selalu mengaguminya, mencintai keindahan dalam raganya, meski aku tahu hatiku selalu ingin membatasi rasa cinta itu.
“aku kangen sama kamu..” air mataku meleleh lagi.

Kubuka lembar demi lembar album besar yang menyimpan serpihan-serpihan kenangan yang pernah terajut bertahun lalu. Kusentuh lembut gambar wajahnya. Senyum menawan yang kini hanya tinggal garis lengkung dalam gambar semata.
“kamu kenapa sih menghilang? Memangnya nggak kangen ya sama aku.” Air mataku semakin deras membasahi pipi. Menahan perih yang kembali menyayat.

Oktober 2011
Kututurkan segenap ilusi ini.
Mengeja segala daya yang tak nyata.
Aku membingkai titik-titik kecil.
Yang bagimu sungguh tak berarti apa-apa.

Kuulas senyum disudut bibirku.
Membiarkanmu menyangka aku bahagia.
Meski dibalik cadar tawa ini aku menangis pilu.
Namun tertahan kemunafikan.

Ingin aku bercerita pada rinai yang turun.
Betapa kalut jiwa yang hampa ini sendiri.
Ingin aku bertutur pada rinai yang berderai.
Menutupi buli-bulir dari sudut mata yang sayu.

Dan….
Aku masih membisu…
Terdiam, kelu..
Disini, dibawah guyuran air mataku.
-jiwa fatamorgana-

Aku mengangkat daguku. Menahan buliran-buliran yang siap meluncur dari pelupuk mataku. Meraih ransel mungil dari atas meja rias. Sejenak aku kembali menatap kearah bingkai manis yang membalut wajah tampannya.
“aku akan melangkah sayang… tapi bukan untuk meninggalkanmu.” Aku tersenyum dan berlalu.
Kucium tangan bunda dan ayah. Meminta doa dan restu agar perjalananku diberi keselamatan.
“bunda yakin kamu bisa bangkit sayang.. dan ini waktunya. Fokuslah ke kuliahmu agar kamu bisa benar-benar bangkit.” Bunda mendaratkan kecupan manis di dahiku.
“Rian pasti senang melihat kamu kembali menjadi sita yang dahulu. Sita yang tegar, sita yang selalu cantik dengan senyum ceria..”ayah menambahi.
“iya bund, yah.. maaf ya selama ini sita terlalu larut dalam kesedihan sita. Sita cumin belum siap. Tapi, sekarang sita udah rela kok. Rian pasti bahagia disana.” Aku berlalu meninggalkan bunda dan ayah. Mengulas senyum demi hari yang lebih indah, tanpa air mata.

Desember 2011
Dan…
Biarlah kusimpan perasaan ini.
Menutup hatiku pada cinta yang lain.
Bila akhirnya kutemukan cinta sepertimu.
Mungkin ku bisa lanjutkan hidupku.
(cappuccino.biar kusimpan)

“tujuh tahun sudah kau pergi, rian. Selama itu pula aku terpenjara dalam bayang-bayang kasih dan cintamu yang abadi. Kini saatnya aku terbangun , Rian. Membingkai kebahagiaan untuk hidupku. Meski aku akan tetap selalu merindumu hingga saat nanti ragaku ini tak mampu lagi menanti.”
Aku menghela nafas panjang…..



Kesedihanku

Sampai saat ini, yang menurutku telah 21 hari aku berada di sini, seingatku tak ada seorang pun dari keluargaku yang datang menjenguk. Suamiku, anak-anakku, ayah, ibu, mertuaku, semuanya. Tak ada satu pun yang menjengukku. Semuanya seakan alpa tentang keadaanku di sini, di suatu tempat yang dikelilingi jeruji besi ini.
Jujur, aku masih tak habis pikir mengapa wanita lemah sepertiku berada di sini. Yang kuingat, aku memecahkan akuarium besar milik majikanku yang kemudian membuatnya murka, dan aku pun langsung dipecatnya begitu saja. Tak hanya sampai di situ, esoknya saat aku tengah bergumul bersama anak-anakku, bercanda ria bersama, aparat keamanan meringkusku dengan paksa dan menuduhku dengan hal yang bukan-bukan. Pencuri, ya aku dituduh mencuri perhiasan milik mantan majikanku sendiri. Aku coba menjelaskan semuanya, bahwa ini fitnah, ini tuduhan yang salah. Tapi siapa yang akan mendengarkanku?
Dan karena itulah, 21 hari terakhir kulewati dengan terpaksa di tempat yang begitu pengap ini. Ya, semoga saja aku tak salah menghitung hari-hariku, sebab aku hanya bisa menandai pergantian hari lewat ventilasi kecil yang juga terpagari oleh besi tanpa sedikit pun tahu sekarang hari apa, tanggal berapa, dan sebagainya. Yang kuingat, sebelum aku meringkus tak berdaya di sini, ulang tahun ke-15 Alfi, anak sulungku tinggal beberapa hari lagi. Dan aku, sebagai seorang ibu yang senantiasa menyayanginya, dengan ini, telah memberikan kado yang buruk baginya, bahkan mungkin terlalu buruk untuk ia terima.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku tak pernah luput memberikan hadiah kecil-kecilan buat Alfi, juga buat Alfin, si pangeran sulungku di setiap kali ulang tahun mereka berdua tiba. Kadang mukenah, jlbab untuk Alfi, serta peci hitam dan baju koko untuk Alfin yang kubeli di toko obralan 2 kilometer dari rumah majikanku. Tapi kini, apa yang aku berikan untuk mereka? Ah, aku tak tahu harus berucap apa.
Dan hari ini, saat cahaya mentari baru saja menembus celah-celah ventilasi, saat pagi masih terasa gigil sekali, aku mendapati sepucuk surat kecil tergeletak di pojok kanan kamar baruku yang di kelilingi jeruji besi ini.
Aku mengambilnya, perlahan membukanya, dan kemudian membacanya dengan seksama,
Ibu, ini aku Alfi, anak Ibu. Semoga di sana ibu tetap baik-baik saja dan tak kekurangan satu apa pun.
Saat ini aku tengah sakit, Bu. Tapi bukan hanya ragaku yang sakit, jiwa dan perasaanku juga tengah terluka. Dalam sekali. Dan kuharap Ibu tidak akan shok dengan ceritaku ini.

Masih dapat dengan jelas kuingat malam itu, sehabis menunaikan shalat isya’ berjama’ah, seperti biasa aku dan Bapak menghibur Alfin yang masih terus saja menanyakan keberadaan Ibu. Kami terus bercanda tawa bersama di gubuk kecil kita yang begitu sederhana. Saat itu, Alfin benar-benar terhibur dan bisa sejenak melupakan keceriaan saat bersama Ibu. Tapi aku, yang sudah cukup mengerti semua ini, semua canda tawa itu terasa ganjil dan selalu saja terasa tak sempurna. Bukan karena apa-apa, Ibu. Tak lain karena tak ada Ibu di sini yang biasa mendampingi kami bercanda tawa bersama. Dan jujur, aku begitu rindu panggilan lelucon Ibu kepadaku yang dulu membuatku sedikit cemberut mendengarkan kalimat itu, “si gigi kelinci”. Kini aku begitu rindu kalimat itu, Bu. Sangat-sangat rindu. Terutama saat Ibu mengucapkannya sambil mencubit hidungku yang kata Ibu tak mancung-mancung juga. Aku rindu semua itu, Ibu. Sungguh begitu rindu.
Kami terus bercanda tawa bersama hingga akhirnya gigil malam membuat kami terlelap. Aku masih begitu ingat kata-kata Bapak sesaat sebelum aku terlelap bersama kantukku,
“Fi, kamu yang sabar ya, Nak. Besok kita jenguk Ibu di penjara. Tapi jangan bilang-bilang Alfin. Bapak gak mau adekmu itu mengerti semua ini.” Bapak membelai rambutku seperti waktu kecil dulu. Dan tiba-tiba aku kembali teringat dirimu, Bu. Teringat belaian lembutmu waktu aku kecil dulu. Aku rindu semua itu.

Sebelum terlelap, aku memandangi foto Ibu lekat-lekat dan kemudian memeluknya erat.
Aku begitu nyenyak merangkai mimpiku malam itu, di tambah lagi dengan gigil hujan yang tak kunjung reda, membuat tidurku semakin lelap saja. Jujur, malam itu aku memimpikanmu, Bu. Benar-benar memimpikan Ibu kembali bercanda tawa ria di antara kami, sebelum akhirnya ada sesuatu yang membuatku terperanjat dari tidurku. Aku merasa getaran, Ibu. Awalnya, aku menyangka hal itu hanya perasaanku saja. Namun lama kelamaan getaran itu semakin keras dan terus saja menjadi. Saat itu aku mendengar suara Alfin dari kamar sebelah yang berteriak memanggil Ibu, juga suara bapak yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Waktu itu, aku juga mendengar suara aneh dari tebing tanah curam di belakang gubuk kecil kita. Aku merinding. Aku khawatir. Sesegera mungkin aku membuka pintu kamar. Kulihat bapak mengahampiri Alfin, hendak menggendongnya. Bapak menoleh padaku lantas berkata, “Alfi, cepat keluar rumah!” bersamaan dengan suara Bapak, aku mendengar suara aneh yang seakan menimpa gubuk kita. Kraaaak. Dan semuanya pun perlahan runtuh.

Aku berlari keluar rumah sebelum akhirnya ada sesuatu yang menimpa kepalaku. Aku tersungkur. Kurasakan pening yang sangat. Kuraba kepalaku, berdarah. Aku coba berdiri kembali, namun genteng rumah kita yang jatuh satu per satu bercampur lumpur menimpaku, membuatku tersungkur kembali. Aku sakit, tubuhku remuk. Aku merangkak dengan sisa tenagaku. Lamat-lamat kulihat Bapak juga tertimpa kayu atap rumah. Alfin terlempar, lepas dari gendongan Bapak. Bapak tak sadarkan diri.
Aku terus merangkak dengan sisa-sisa tenagaku, mencoba menghampiri Alfin. Sementara itu, lumpur-lumpur semakin buas saja meruntuhkan segalanya. Kayu-kayu atap rumah perlahan jatuh satu persatu menimpaku. Aku tak bisa bergerak. Aku berteriak pada Alfin agar cepat keluar rumah, tapi dia tetap saja menangis dengan terus menerus memanggil nama Ibu.
Aku terus saja berteriak, menyuruh Alfin keluar rumah segera, sebelum akhirnya lumpur-lumpur itu membenam kami semua. Aku meronta. Aku menerjang sekuat tenaga. Menerjang dan terus menerjang untuk mencari sedikit udara untuk bernafas di antara lumpur yang menguburku hidup-hidup. Aku terus meronta dan aku berhasil. Aku mengambil nafas panjang-panjang. Kurasakan lumpur telah memasuki tenggorokanku, hidung, telinga, semuanya. Aku kibas-kibaskan kepalaku, terasa pening sekali. Perlahan aku mencoba untuk membuka mata meski teramat perih. Lamat-lamat kulihat dua tangan menjulur ke atas dan masih bergerak. Tangan itu begitu mungil. Tangan Alfin. Aku kembali meronta, Ibu. Kembali menerjang, berusaha menghampirinya yang kira-kira lima meter dariku. Namun lumpur-lumpur yang membelotku membuatku tak berdaya. Aku menangis. Aku berteriak dan terus menerjang tanpa daya. Hingga akhirnya kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dua tangan itu semakin lemah, lunglai, dan akhirnya tak bergerak lagi. Aku menangis, Bu. Aku berteriak sekuat teraga. Aku kemudian tak sadarkan diri karena kusaksikan semua itu dengan mata kepalaku sendiri.
Kukira aku telah mati, Bu. Saat kubuka mata, semuanya putih. Aku menyangka telah berada di dunia lain yang tak kukenal. Namun setelah kubuka mata lebar-lebar dan kuedarkan pandangan, orang-orang itu menghampiriku dengan wajah iba. Pak Amir bersama istrinya yang baik hati, Bu Tuti, Mbak Ida, dan banyak dari tetangga-tetangga kita. Saat itu aku baru sadar, aku belum mati. Aku di rumah sakit. Saat kutanya perihal bapak dan Alfin, mereka semua berkasak-kusuk sebentar, lalu menyuruhku untuk bersabar.
Aku selalu bertanya-tanya sendiri di hatiku sebelum akhirnya Bu Tuti memberiku sebuah jawaban. Dia mengelus-ngelus kepalaku sambil berucap,
“Kamu yang sabar, Nak. Alfin dan Bapakmu telah tiada…”
Aku masih begitu hafal kata-kata itu hingga kini. Kata-kata yang membuatku terkesiap dan menangis, menyesali semua apa yang terjadi. Bukan hanya itu yang membuatku terluka. Di saat Bu Tuti mengelus-elus kepalaku, aku teringat satu hal, saat Bapak juga mengelus-elus kepalaku sebelum aku terlelap di malam itu. Rencana akan menjenguk Ibu tanpa diketahui Alfin. Itulah yang semakin membuatku terpukul hingga kini.

Dan kini, kutullis surat ini untuk Ibu. Aku harap, Ibu tidak akan shok mendengar semua kisahku ini. Bu, saat ini aku ingin menjadi seperti anak kecil lagi. Aku rindu belaian lembut Ibu yang mengelus pelan kepalaku. Aku meindukanmu, Bu. Sangat-sangat rindu.
Salam rindu dari anakmu yang tinggal seorang diri ini,

Alfi.
Ada yang sakit di dadaku. Perih sekali. Semakin perih. Dan aku tak kuat lagi menahan sakit ini. Semuanya seakan berputar di sekelilingku. Aku tersungkur, namun dada ini masih saja sakit, semakin perih. Semuanya semakin cepat saja berputar. Semuanya seakan buram, terus memburam. Dan akhinya, gelap.

 

Berarti Kah Aku



Malam ini begitu indah, namun tak seindah hidup yang kujalani. Hanya satu hal yang ku inginkan, dan aku harap sebelum aku mati aku bisa mewujudkan impian ku itu.
Mama: Viraaa, (memanggil dengan nada keras),
Vira yang mendengar teriakan mamanya, segera keluar dengan setengah berlari.
Mama: Dari mana saja vira, dipanggil tak menyahut, mama harus teriak baru kamu keluar? Kamu sengaja ya
Vira: maaf ma, vira lagi mengerjakan tugas
Vita yang mendengar ibunya marah-marah langsung keluar kamar, dia malah mengompori ibunya sehingga ibunya semakin marah.
Vita: kenapa lagi sih mah, pasti ini anak buat ulah lagi ya (mendorong dengan kasarnya hingga Vira terjatuh) sudah mah, kasih hukuman aja, kalau didiemin gini terus nanti makin kurang ajar.
Vira: ampun mah, vira bener tidak mendengar
Mama: (menyeret paksa Vira ke kamar mandi) kamu memang anak yang tak tau terima kasih, tak tau dï untung, dasar anak sial, (mengguyur vira dengan air) setiap kali marah selalu saja mamanya mengucapkan itu.
Vira: ampun mah, ampun dingin mah, dingin.
Vita: sukurin kamu, terus mah jangan kasih ampun
Mama: ayo vit kita tinggallin dia disini, dan kamu jangan keluar sampai besok pagi, kalau kamu melanggar hukuman kamu akan mama tambah.
Vira: mah jangan kurung vira, dingin mah, gelap, vira takut.
Begitulah kehidupan Vira, hampir setiap hari ia disiksa, padahal ia tak pernah melakukan kesalahan, namun selalu saja dia salah di mata mamanya. Untungnya ia masih punya Vito kakak laki-lakinya yang sayang padanya, namun vito jarang sekali di rumah, bila ada Vito pasti vira selalu dibela & jika ada Vito ia tak akan membiarkan Vira diperlakukan kasar. Berbeda dengan Vita kakak perempuan vira, Vita sangat membenci vira sama seperti mamanya, yang entah kenapa sangat membenci dirinya.
Suatu hari timbul niat jahat mamanya ingin melenyapkan Vira untuk selama-lamanya, esok paginya ia melaksanakan niat itu, tak seperti biasanya pagi ini mamanya bersikap baik pada Vira, seisi rumah bingung, karena tak biasanya mamanya bersikap seperti ini, dan sekarang untuk pertama kalinya Vira di ajak jalan.
Vito: tumben banget mama hari ini? suasana rumah seperti ini vito bahagia banget mah
Mama: tumben apa? Memangnya mama ga boleh baik sama anak-anak mama, mama sekarang sadar kalau selama ini mama sudahh terlalu jahat pada vira, dan sekarang mama mau merubah semuanya. Maafin mama ya vir.
Tanpa ada yang mencurigai perubahan sikap mamanya, ternyata ada maksud tersembunyi dibalik itu semua.
Dan pagi itu, Vira bahagia sekali, semoga mamanya seperti ini untuk selamanya bukan pagi ini saja. Setelah sarapan pagi vira dan mamanya pergi.
Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kencangnya,
Vira: mah vira takut, jangan terlalu kencang
Mama: ga usah panggil mama-mama, kamu pikir aku beneran baik sama kamu, aku hanya ingin membawa kamu pergi dari hidup kami semua.
Vira: vira tau kok mah, tapi vira sampai kapan pun ga akan pernah benci sama mama, buat vira mama itu mama yang terbaik yang pernah vira punya. Dan vira janji gak akan tinggalin mama
Mama: gak usah sok baik, sampai kapan pun kamu gak akan pernah saya anggap sebagai anak saya, karena kamu hanya membawa petaka di hidup saya.
Saking kencangnya mobil itu melaju, sampai-sampai tak menyadari ada sebuah truck yang melintas. Tanpa bisa dihindari lagi mobil dan truck tersebut bertabrakan. Supir truck tersebut meninggal saat itu juga, sementara mama dan Vira kondisinya kritis. Mereka semua segera dilarikan ke Rumah Sakit untuk segera ditangani.
Beberapa hari kemudian, masa kritis Vira terlewatkan, akhirnya ia sadarkan diri, namun ibunya tak menunjukan kondisi membaik. Dokter mengatakan kemungkinan selamat sangat kecil terkecuali ada pendonor jantung, dan saat ini pihak rumah sakit tidak ada persediaan jantung.
Kondisi Vira semakin membaik, namun penglihatannya mengalami sedikit masalah. Dokter mengatakan matanya harus dioperasi, karena saraf matanya mengalami kerusakan yang fatal, kemungkinan matanya akan buta permanen dan operasi pun tak menjamin dia bisa melihat.
Vira bersikeras tak mau dioperasi, karena baginya, dioperasi atau tidak sama saja, tetap saja tak menjanjikan dia bisa melihat. Ka Vito sudah mencoba meyakinkanya untuk mencoba operasi, karena apa salahnya mencoba namun tetap saja Vira tak mau.
Vira sengaja tak mau dioperasi, karena baginya keselamatan mamanya lebih penting dan ia rela memberikan jantungnya pada mamanya, tapi dokter menolak kemauannya dengan keras.
Vira: dok, vira mohon dokter ambil saja jantung Vira, Vira siap menerima segala resikonya.
Dokter: sekali pun nyawa kamu? Tapi saya tak bisa melakukanya
Vira: ya saya siap dok,
Dokter: saya tetap tidak akan melakukan itu, karena itu sama saja saya telah membunuh satu nyawa.
Vira: saya mohon dok, izinkan saya melakukan satu hal berguna, banyak yang membutuhkan mama dok, keselamatan mama sangat penting dok.
Dokter: tapi apapun alasannya saya tetap tidak bisa
Vira: saya akan berterima kasih sekali jika dokter mau mengabulkan permintaan saya, paling tidak sebelum saya benar-benar harus pergi
Dokter: tapi saat ini kamu tidak dalam keadaan sakit, kamu masih bisa hidup lebih lama
Vira: kita tak pernah tau dok, kapan waktu kita, jadi saya mohon dengan sangat dok (bangun lalu bersujud di bawah kaki dokter), saya mohon dok.
Sungguh terharu dirinya melihat ketulusan seorang anak yang begitu rela berkorban, sekalipun ia harus mempertaruhkan nyawanya, Tak tega ia melihat Vira yang terus merengek akhirnya ia menyetujuinya. Dengan perjanjian yang hanya mereka dan Tuhan yang mengetahuinya. Walau sebenarnya sangat berat bagi Dokter andi untuk benar-benar melakukan yang Vira minta. Ia terus membujuk agar Vira membatalkan niatnya tersebut.
Siang itu Vira terlihat lain sekali, siang itu ia tak mau kak vito menjauh darinya, ia tak mau melepaskan pelukan kak Vito.
Vito: kamu kenapa sih vira sayang? Kok hari ini kayanya beda banget
Vira: gak ka, vita cuma pengen dipeluk sama kakak aja, Vira takut kalau suatu saat Vira ga bisa peluk kakak kaya gini
Vito: ngomong apa sih kamu Vir, kakak tu akan selalu sayang kamu dan selalu ada buat kamu, kamu jangan nangis dong, kok jadi sedih sih sayang?
Vira: ka, Vira sayang banget sama kakak, Vira gak mau lihat ka Vito sedih
Vito: ya sayang, kakak juga sayang banget sama Vira, kakak gak akan ninggalin Vira, kakak akan selalu nemenin Vira,
Vira: makasih ya kak, kaka baik banget, tapi vira boleh minta satu permintaan gak?
Vito: apapun yang Vira minta kakak akan selalu nurutin.
Vira: Seandainya Vira gak bisa nemenin kaka lagi, Vira mau kakak gak boleh nangis atau sedih, kakak harus selalu senyum janji ya
Vito: ngomong apaan sih Vir, kaya orang mau pergi jauh aja, sudah deh jangan ngomong yang aneh-aneh. Sesaat suasana hening, tak ada yang berbicara hanya mata dan hati mereka yang berbicara.
Kesepakatan antara Vira dan Dokter Andi sebentar lagi akan segera dilaksanakan, tanpa rasa ragu ataupun takut di hati Vira. Dokter sudah berapa kali meminta agar vira memikirkan lagi, dan menyuruh Vira untuk tidak melakukan itu, namun tetap saja Vira bersikeras dengan kemauannya. Akhirnya dokter menyerah, operasi pun dilakukan, namun hanya pihak rumah sakit dan dia yang mengetahuinya, Vira tak ingin ada seorang pun yang mengetahui ini, Vito pun sama sekali tak mengetahui apa yang telah Vira lakukan. Operasi tersebut berhasil, beberapa jam kemudian mamanya pun sadar.
Semua keluarga begitu bahagia, karena bagi mereka sungguh keajaiban. Ternyata setelah sadar dari koma pun sikap mamanya tetap tidak berubah pada Vira, malah ia menanyakan apakah vira sudah meninggal. Begitu marah vito mendengar apa yang diucapkan mamanya. Vito pun langsung berlari keluar dengan Emosi.
Namun langkahnya terhenti karena mendengar pembicaraan antara dokter Andi dan suster Ana. Betapa terkejutnya ia setelah mengetahui ternyata mamanya sadar berkat pengorbanan vira, Vira rela memberikan jantungnya, tanpa memikirkan nyawanya. Bahkan mungkin bisa dibilang ia rela mati demi seorang ibu yang sama sekali tak pernah menganggap Vira itu ada.
Tak mampu ia menahan kakinya, untuk tidak menemui dokter andi untuk bertanya kebenaran yang baru saja ia dengar. Ternyata semua yang ia dengar itu benar, dan sebelum operasi dilakukan Vira menulis surat untuk orang-orang yang sangat ia sayangi, karena katanya ia takut tak sempat mengucapkan jika ia sangat menyayangi keluarganya dan sangat berterima kasih pada tuhan pernah merasakan yang namanya punya keluarga. Dan sekarang kondisi vira dalam keadaan yang sangat buruk, entah sampai kapan ia akan bertahan. Tanpa menunda waktu ia langsung mendatangi Vira.
Vito: Vira sayang, apa yang sudah kamu lakukan, kamu bodoh Vir, sangat bodoh. Kenapa kamu harus berkorban seperti ini. Bangun Vir, kakak gak mau kehilangan kamu. Ia terus berbicara dengan Vira, tanpa ada sahutan darinya.
Setelah sedikit tenang, ia membuka surat yang dokter titipkan padanya. Surat untuknya, mamanya dan Bi ijah pembantunya.
Dear kaka Vito
Kakak aku yang paling ganteng, baik, dan paling aku sayang. Jika kakak membaca surat ini mungkin Vira sudah tak mampu berbicara dengan kaka atau mungkin sudah tak berada di dunia ini, Satu hal yang harus kakak tau, sayang ku pada kakak akan selalu aku bawa bahkan sampai aku mati. Kakak jangan sedih ya, senyum dong.
Kak, mungkin aku ini bodoh, sangat bodoh. Pasti itu yang ada dalam pikiran kaka, dan mungkin pikiran semuanya bukan hanya kakak. tapi vita gak ngerasa bodoh, justru sangat bangga bisa melakukan satu hal sebelum vira pergi.
Kak, Vira mohon jangan benci Vira. Maafin vira kak. Vira ga mau kaka benci sama Vira, di dunia ini hanya kaka satu-satunya orang yang sayang banget dengan Vira, jadi Vira mohon jangan benci Vira. Dan jangan salahin mama ya, ini juga bukan salah mama ini semua kemauan Vira. Janji sama Vira ya, jangan lagi ada kebencian atau kemarahan.
Kak makasih banget untuk semua yang kakak kasih, kakak ngajarin banyak hal pada Vira. Vira cuma bisa bilang makasih kak.
Jangan sedih ya kak, kakak ga boleh nangis. Vira gak mau liat kakak sedih. Vira sayang kakak.
Salam sayang
Vira
Butiran air mata semakin mengalir dengan derasnya tanpa bisa dibendung, antara terharu, sedih dan marah bercampur jadi satu. Dibukanya surat untuk mamanya, sangat singkat tak seperti surat untuknya.
Untuk mama
Ma, maafin Vira sudah sering bikin mama kesal, tapi Vira sayang banget sama mama. Vira bahagia banget pernah jadi bagian dalam hidup mama, love you mah, Vira selalu sayang mama
Vira
Dibukanya lagi surat untuk pembantunya bi ijah.
Bi ijah, maafin Vira pergi ga bilang-bilang, Vira sayang bibi.
Bi makasih ya, untuk semuanya, bibi itu lebih dari seorang ibu bagi Vira, kasih sayang yang bibi berikan tak akan pernah bisa Vira membalasnya.
Maaf bi Vira sering ngerepotin bibi, hehehe bibi jangan sedih ya, kalau Vira gak ada, jangan kangen, hehehe Vira sering niat bantu bibi malah ngerusakin semuanya. Tapi bibi gak pernah marah atau pun ngomong kasar seperti mama, andai saja mama bisa sekali saja peluk vira dan bisa kaya bibi sayang Vira, sekali saja pasti vira akan jadi orang yang paling bahagia sedunia. Tapi bibi selalu menguatkan hati vira, makasih bi.
Bibi, Vira mau kasih tau satu hal, tapi bibi jangan bilang siapa-siapa. Bi, mama mau nyelakain vira, tapi vira gak akan benci kok. Seperti yang sering bibi bilang, suatu saat mama akan berubah sikap, karena kejahatan harus dilawan dengan kebaikan. Semangat Vira, Vira gadis kuat, gak boleh nyerah, harus selalu senyum.
Bi, nanti Vira gak bisa bantu bibi, masak dan nyuci lagi, gak bisa buatin nasi goreng lagi tiap pagi, tapi dengan waktu yang Tuhan berikan ke Vira itu lebih dari cukup bi, melihat keluarga ku bisa tersenyum, bisa makan dengan lahapnya vira sangat bahagia.
Bibi gak boleh nangis ya, bibi harus selalu senyum kan bibi yang selalu ajarin Vira buat selalu tersenyum walaupun itu pahit. Vira sayang banget sama bibi. Bibi gak marah kan kalau vira anggep bibi sebagai mama vira. Karena dari bibi lah Vira merasakan yang namanya belaian seorang ibu, vira merasa damai banget dalam pelukan bibi. Cuma makasih bi, Vira ga bisa lakukan banyak hal untuk bibi. Bahkan pergi pun Vita ga sempat pamit sama bibi.
Love you so much bi emmuuchhh, vira selalu sayang bibi
Salam sayang
Vira
Tak sanggup mengucapkan kata-kata apapun, Vito hanya bisa menangis sejadi-jadinya dan berteriak Viraaaaa.
Dengan sangatt marah ia menemui mamanya,
Vito: mah, mama pernah gak sih sedikit saja peduli dengan Vira. Mama tau kesadaran mama ini berkat siapa, berkat anak yang selalu mama benci. Anak yang ingin mama celakai, tapi tidak berhasil, malah mama ikut jadi korban.
Mama: ngomong apa kamu vit, sampai kapan pun mama akan selalu benci dia
Vito: mah, mama itu memang ibu yang gak punya hati, gak punya perasaan salah besar vito anggap mama sebagai ibu terbaik, hati mama itu bagaikan… tak dilanjutkan kata-katanya, mah… Serigala saja sayang sama anaknya mah.
Mama: vito, kamu berani ngomong kasar sama mama, cuma ngebelain anak kaya dia.
Vito tak tau harus ngomong apa lagi, karena selalu ada saja jawaban ibunya, yang menunjukan kebencian yang mendalam.
Vito: sekarang mama baca surat ini. Baca mah, setelah mama baca terserah apa maunya mama.
Kenapa mama diam, kenapa nangis mah, percuma.
Apa sekarang masih bilang dia bawa sial buat mama, sementara dia rela ngorbanin nyawanya demi mama. Apa sekarang mama masih benci dia, apa sekarang
Mama: cukup vit, cukup.. Mama tau mama salah, tolong antarkan mama menemui vira.
Vito: buat apa mah, untuk nyakitin hati Vira lagi, untuk marahin dia lagi
Mama: mama mau minta maaf Vit, mama sudah terlalu banyak salah. Vit mama mohon sebelum semua terlambat.
Dengan derai tangis, mereka semua berkumpul di tempat Vira, mamanya memeluk erat Vira, berharap vira segera sadar
Mama: ampuni mama Vir, jangan benci mama, tolong jangan benci mama. Vira kasih mama kesempatam mama sekali saja, sadar vir, mama sayang kamu. Kenapa kamu lakukan ini, harusnya kamu benci mama Vir. Bangun sayang.
Air mata vira, ikutan mengalir, sungguh keajaiban vira bisa membuka matanya. Betapa bahagia semuanya melihat vira sudah sadar,
Vira: dengan penuh senyum dan suara terbata-bata ia mengatakan vira sayang kalian semua, Vira juga gak pernah benci sama mama,
Mama: Vira, makasih ya kamu memang anak yang sangat baik, maafin mama kamu harus sembuh ya.
Vira: makasih ma, mama sudah mau peluk Vira, Vira ngerasa bahagia banget, sekarang impian Vira sudah kewujud.
Semua diam, hanya isakan tangis yang terdengar. Lalu Vira membuka suara.
Semuanya, Vira boleh minta satu permintaan, hanya anggukan dari mereka semua tanpa ada yang berbicara
Vira: jangan ada yang nangis ya, Vira pengen liat senyum kalian semua, makasih ya untuk semuanya, dan sekarang Vira bisa pergi dengan tenang, Vira mau pergi ke tempat yang indah banget, Vira bahagia disana, tak merasakan sakit sedikitpun. Vira sayang kalian semua.
Tepat pukul 12:00 di hari ultah Vira yang ke 15, dia menghembus kan nafas terahir dalam pelukan mamanya. Yang tersisa hanya penyesalan sang mama.


Dia.. Bintangku

Diantara banyak bintang bertaburan dilangit malam yang sunyi, gue nemuin satu bintang yang paling terang dari yang bersinar. Dia indah, gue seneng mandanginnya, gue seneng liat sinarnya, indahnya bikin gue lupa tentang masalah gue. Mungkin inilah keindahan Allah SWT yang memberikan gue mata yang sempurna agar melihat suatu hal yang indah pula. Walaupun bintang itu milik Allah tapi gue bisa nikmatinnya, bikin gue tenang. Kalian tau ga? Bintang itu indah saat ia bersinar, andai setiap malam gue bisa liat bintang itu bersinar dan menerangi kelamnya malam. Ga semua bintang bisa seindah itu, kadang kalo malem dateng dan gue menengadah buat cari bintang yang bersinar rasanya sulit, dia ga selalu hadir disetiap malam, ga selalu ada buat nerangin malem, dan ini yang ga gue pengen. Gue pengen bintang bisa hadir setiap saat, dan disaat gue butuh dia
Errrr— banyak banget masalah yang gue hadepin belakangan ini, kenapasih gue gabisa dapet ranking terbaik disekolaah? Kenapa sih gue pemales, kalo orang beres-beres gue pasti diem, gue pemales? Kapan gue bias bikin karya indah yang bisa bikin gue bangga dengan hasil itu? Kapan gue bisa banggain orangtua gue dengan pencapaian gue selama ini? Kapaaaaaan? Gue ngerasa hidup gue itu—ga guna, ga rugi orang lain ga liat gue, soalnya gue gabisa apa apaaaa errrrrrr—
“yaaa, kenapa ya gue tuh gabisa bikin orang tua gue bangga. Masa ranking gue turun dan gue sekarang makin lama dirumah tuh makin males. Kayaknya tuh gue ga guna banget–” Tanya gue ke aria yang ada dihadapan gue bersama snack serena kesayangannya.
“hus ga boleh gitu—ranking doang turuuun tapi nila naek kan. Udah kalem ajaaa. Ohiya nay, lu bantuin gue ya buat bikin cerpen—gue gabisa ngerangkai kata-katanih” pinta aria ke gue.
“ih ya, gue gabisa apa apa-__- mana bisa bantuin eluu bikin cerpen coba?” jawab gue bête.
“ih nay lu mah suka aneh, lu kan lebih jago dari gue. Ohiya, nanti lu yang sebarin cerpennya ya, kan lu banyak temen” pinta aria mengelak apa yang gue bilang
“aria ariaaaa—gue mah gabanyak punya temen ah , mening elu aja. Emang cerpen buat apa?” jawab gue lagi sambil mengambil jus alpukat yang baru aja datang ke meja tempat kita berdua duduk di kantin kampus
“tuh kan lu mah suka gitu nay ah bête gue” aria marah
“ya emang iya kan ya, gue gasehebat elu yang punya banyak karya dan pinter. Udah ah gue males mikirin ini itu—gue pusing. Otak gue serasa mau mudaaal. Pulang yu ya” gue mengelak dari apa yang aria omongin, sambil menghabiskan jus alpukan gue berdiri. Otak gue pusing, gue lagi males berhadapan sama masalah.
“…” aria berdiri dari bangkunya dan menyusul gue yang udah berjalan duluan untuk naik bus pulang
Kita berjalan dalam diam menuju halte bus, tiba-tiba aria memecahkan keheningan ini

“nayaka, asal lu tau. Kalo lu terus liat keatas membandingkan diri lu dengan orang lain yang lebih hebat itu cuman bisa bikin lu terpuruk. Lu ga akan bias ngeliat potensi lu sendiri. You have nayaka, admit it”
“tapi yaaa…” gue sedikit cemberut
“tanpa lu sadarin banyak orang disekelilinglu yang lebih gaguna nay, lu liat eza yang kerjaannya kelayapan tiap malem, nilai jeblog, dan ga dipeduliin sama orang tuanya, termasuk gue. Lu masih ngerasa elu orang paling ga guna? No nayaka! you have your own potential you have a good skill to make an article or a story. you have nay jangan pernah berfikir kamu itu sendiri disini, gapunya temenlah, inilah itulah, gue? Ada gue disini nay, gue bakal selalu ada. Lu anggep gue bukan temen? Jangan selalu bayangin yg ga ada tapi manfaatin yang ada nayaka”
Aria.. that’s a best part I ever hear from his mouth—ever. Dia emang bener bener sahabat gue yang paling ngerti apapun tentang gue. Baru gue sadarin, ngapain gue selalu mikirin yang ga ada, ngerasa ga ada temen, jelas jelas aria selalu ada buat gue. Gue ngerasa ciut? Hidup itu bukan untuk menyesali tapi untuk mensyukuri. Liat kebawah untuk merasa kita mampu dan liat keatas supaya kita termotivasi. Itu semua udah gue simpen diotak gue rapetrapet. Petuah dari aria yang bisa bikin hidup gue berubaaaah.
Setelah hari itu, gue mulai menyadari pentingnya waktu dan menghargai teman. Sekarang waktunya gue menerima hasil ujian praktek. Entah apa yang bakal gue dapet. Aria udah lebih awal mendapatkan hasil ujian praktek gitarnya, dengan sempurna ia mendapat 5 bintang dari dosen kita. Gue masih tetep nunggu dengan sabar.
“bosen ya nay?” Tanya aria ke gue yg memasang wajah kecut dan tangan disimpan didagu sambil duduk dikursi taman dekat gedung fakultas kami.
“hmmm.. gue laper abisnya” jawab gue ketus
“dih jutek cuman garagara laper, yaudah ayo makan dulu” tawar aria sembari berdiri dari duduknya
“ah engga ah, gue mau nungguin hasil ujiannnya”
“yaelaaaaaaaa nayaka lu pasti lulus dan dapet hasil terbaik. Percaya deh sama gue”
“gimana caranya gue bisa pegang omongan lu ya?”
“lu pikirin aja sendiri, seberapa besar usaha lu saat melakukan ujian praktek. Itu hasilnya lu bisa ukur sendiri”
“sialan ini orang selalu nyihir gue dengan omongannya” gumam gue
“hehehhe” aria yang mendengar gumaman itu tertawa merasa dirinya disindir.
**
“ARIAAA!!! I’ve got what I want!” suara gue menggema diantara pohon pohon taman kampus gue. Aria duduk dengan iPodnya menunggu gue dikursi taman. Sedikit kaget melihat gue. Dia berlari dan menanyakan kebenaran katakata gue
“beneraaaaan?!!” tanyanya girang
“iya yaaaaaa Aaaaaaaaa seneeeng!!” jawabku lebih heboh darinya
“yeeeeeeeee nay lu berhasiiil asik party asik party” jawabnya sumringah
“hem engga ada party partyan. Gue mau male mini cuman gue sama bintang dilangit yang bersinar yang ngerayain. Besok aje lu gue traktir ya yaaa Description: ;)
“dih si nayaka nyebelin amat-___- kalo udah liat bintang susah banget diganggu”
mata gue terbuka lebar, gue menengadah memandangi langit malam yang bertabur bintang. And I’ve got the best reward! And this is my favorite! See the star. Bintang, gue paling suka bintang—indah, bersinar, terang, dan bikin gue tenang. Setiap gue liat ada satu bintang paling terang dilangit teras kamar gue, gue pastiin itu Aria. Aria sahabat gue, dia sama kaya bintang. Katakatanya bisa bikin gue tersihir setengah duduk buat berubah. Sama halnya dengan bintang yang bisa nyihir gue saat sinarnya sangat benderang dilangit. Bintang ga selalu bersinar setiap saat. Walaupun cuman malam yang bisa bikin gue ketemu sama dia tapi itu berarti bagi gue. Sebentar yang bermakna. Mulai saat ini gue ga akan nyia nyiain hidup gue lagi cuman buat menyesali sesuatu. Gue inget kata kata aria yang dia bilang saat gue lagi bête “belajar lah dari masa lalu, hidup untuk hari ini, dan bermimpi untuk masa depan”
“thanks ya, gue tau seberapa berharga sinar bintang dimata gue, sama halnya dengan elu yang lebih berharga dari itu.”
“aku mencintaimu, Va!” aku merasa ingin tertawa.
“ha. ha.. ha, udah lah al! Jangan gitu” meski aku tertawa aku mengatur volume suaraku agar tak terdengar oleh dalam rumah.
“aku serius, Va! Hmm.. gimana?”
“aku suka punya sahabat kayak lu”
“ga bisa lebih, Va?”
“kita udah sahabatan semenjak 4 tahun yang lalu” ku atur suaraku agar tak menyakitinya.
“jadi, kamu menolak?”
“buat apa?, ini sudah lebih dari cukup, persahabatan kita gak akan pernah luntur, aku kamu Salwa Mawar Denov Awan, kita akan tetep bersama”
“hum, aku mengerti! oke, makasih untuk semuanya, aku balik dulu” wajah Alvin mendadak berubah pucat, tak ada keiklasan di baliknya, tak ada kehangatann persahabatan pertemuanku dengannya malam ini. Ku tutup pintu rapat-rapat.
“semoga, semuanya akan baik-baik saja, maafkan aku, Al” benakku. Seketika ingatanku melayang pada suatu kejadian yang sama.
Juni, 2008
“Ova! lihat sini” seseorang memanggilku dari jarak 5 meter, tepatnya selesai pesta di suatu acara pernikahan temanku.
“I LOVE YOU” sebuah balon merah hati bertuliskan kata I LOVE YOU muncul di hadapanku, dan tampak siluet wajah Alvin di balik balon itu.
“..” ku bengong sendiri.
“ayo, aku antar pulang”
“ehm, kagak usah, ntar ngrepotin” kataku masih polos.
“siapa bilang?, yuk!” tanpa persetujuan dariku, Alvin meraih tanganku menarikku untuk mengikuti langkahnya, tak ku sangka aku berada di dekatnya, teman baruku sekaligus kefairannya membuatnya melejit berubah status sebagai sahabat teman-temanku, sahabatku juga.
“Va!” dia menghempaskan lamunanku.
“iya kak, ada apa?”
“hem, aku suka sama kamu” tak dibatasi dengan alang-alang, kalimat tersebut membuat bujur ragaku terasa kaku. “aku sayang kamu, semenjak kita bertemu”
“ak.. aku gak tahu harus ngomong apa” suaraku terasa tercekik.
“aku tahu, mungkin aku terlalu lancang, hmm.. saat ini aku hanya ingin kamu tahu perasaanku”
“kak, aku ingin menjadi sahabat kamu, selamanya kita kan selalu dekat” tanpa ku sadari perkataan tersebut dengan lancarnya keluar dari mulutku, dia menatapku sesaat mencoba mencerna arti kataku.
“maksudnya apa, Va? Kamu tak mau memberi kesem..”
“kakak, udah ya.. makasih buat malam ini” aku langsung berlari menuju pintu rumahku, menghiraukannya, yang ku inginkan hanyalah sendiri untuk menenangkan detak jantungku yang tak ku ketahui arti semua ini, arti detak jantungku, aku tak tahu.
Juli, 2012
Suara jangkrik melengking menjadi backsound suasana malam ini, bertemakan 2 cangkir milk coffee di suatu meja bundar teras rumahku.
“oh ya, Naufa! Kemarin aku ketemu sama Alvin, hem tapi sayangnya dia gak ngelihat aku!” jantungku terasa berdegub kencang setelah mawar menyebut namanya, nama yang akhir-akhir ini sempat vakum di pikiranku. Tiba-tiba langsung menjalar setelah mawar mengatakan headline cerita yang masih rumpang. “Naufa! Haloo, kok nglamun sih!”
“eh, engak engak, memangnya ketemu dimana?” aku adalah Naufalia Ifhannada, panggilanku Naufa hanya saja Ova adalah panggilan khusus dari seseorang yang bernama Alvin, entah dari mana namaku bisa bermetamorfosis menjadi Ova.
“di rumah si Asep, tau kan tetangga aku itu, malahan gak cuma kemarin deh, hampir tiap hari Alvin nongkrong di sana, sampai malam-malam lagi, habis itu keluyuran entah kemana gitu, heran aku, Fa. Setahuku Alvin kan anak rumahan, kok suka keluyuran juga ya, hahaha” cerita Mawar ada benarnya, perubahan Alvin juga terasa bagiku, dia gak kayak dulu, sekarang dia lebih suka keluar malam, dia juga gak pernah gabung sama teman-teman kayak dulu, lebih tepatnya dia ngehilang di telan bumi belahan lain. Tiba-tiba hatiku terasa sesak, apa sebabnya dia berlaku seperti itu ngejauhin orang-orang di sekitarku, bahkan aku.
Akhir-akhir ini, aku disibukkan dengan fikiran yang tak lepas dari seoarang Alvin, batinku menggerakkanku untuk membuka kotak kado dari laci yang sempat terdiam di sana. Isinya masih sama, tak berubah seperti 3 tahun yang lalu, di dalam kotak itu terdapat sketsa wajahku karya Alvin dan sebuah buku novel yang di berikan Alvin kepadaku, mendadak perasaan bersalah yang amat besar berkecamuk di fikiranku dan aku masih tetap tak mengerti, apa arti semua ini.
November, 2012
Kali ini rencana teman-temanku untuk hang-out ke pantai akan terlaksana. Ketika mentari masih menyembul malu-malu, aku, Denov, Mawar, Awan dan Salwa sudah berkumpul di depan rumahku, semua tampak siap berangkat dengan berkendaraan bermotor.
“teman, ayo cap-cus sekarang, gak sabar nih!” ajakku dengan penuh semangat, setelah kurasa semuanya tampak siap, keeksotikan pantai pelang yang aku rindukan, oh!
“bentar, masih ada satu teman yang tertinggal nih, kita tunggu dulu yah!” ucapan Mawar membuatku bingung, satu teman siapa itu? Ku lirik semua teman-temanku, genap gak ada yang kurang.
“siapa Ma?” belum sempat pertanyaanku terjawab, seseorang bersepeda motor datang ke gerombolan kami. Postur tubuh yang tak asing lagi, seketika itu jantungku berdetak tidak normal.
“Alvin” desisku. “dia datang tak terduga yang justru membuatku tak siap untuk menata perasaanku yang sampai saat ini aku tak mengerti” desisku dalam hatiku.
“Naufa! Ayo” Awan melambaikan tangannya, memecah lamunanku, dan saat memulai perjalanan ini ku lihat Alvin yang membonceng Mawar, ahh!! perasaan apa lagi ini, dengan segera ku tepis semua perasaan burukku.
Dalam perjalanan 2,5 jam, pengliahatanku tak berhenti memperhatikan motor merah maroon di depanku yang dikendarai oleh Alvin. Ahh!! Andai aku yang di sana bersamanya, entah dari mana berasalnya, suatu energi muncul dari dalam jiwaku yang tak termunafikkan, aiish!! Apa-apa’an sih Nouf!! Berhenti berkhayal, semua adalah sahabat kamu, Nauf!! Gak ada yang lebih, semua sama. Dan tiba-tiba setitik air mata jatuh merembes di pipiku, Tuhan! Aku tetap tak mengerti apa maksud semua ini.
Pantai Pelang, November 2012
Waaw!! It’s a beautiful day! tempat yang selalu membuatku tenang dengan backsound debuaran ombak, sebuah instrumen yang paling aku sukai. Ku berjalan sendiri di bawah pohon kelapa di atas batu karang putih keperakan. Dan dari tempat itu, ku bisa melihat teman-teman berteriak bermain ombak, ahh! Aku hanya ingin sendiri di tempat ini.
“Ova” suara yang tak asing mengagetkanku, sontak terasa hawa menyedot seluruh tenagaku.
“aku boleh duduk di sini?” dia melangkahkan kakinya duduk di sampingku.
“instrumen yang paling indah” kata-kata Alvin membuatku tercekat tak mampu berkata apa-apa.
“ombak itu, rela menabrakkan dirinya ke karang, berguling-guling tanpa kenal lelah hanya ingin mereka tak mau menghentikan sebuah suara instrumen yang mampu membuat kedamaian di batin yang lelah” “ombak itu baik yah!” entah apakah Alvin ingin mengajakku ngobrol, atau hanya mencurahkan batinnya yang tak perlu suatu jawaban dan aku masih mampu mendengarnya saja, tanpa berkata sedikitpun.
“Ova”
“iya?”
“makasih ya, buat semua instrumentmu selama ini, maafkan aku”
“maksudnya apa? Aku ..aku gak mengerti”
“hmm” dia hanya menatapku penuh arti, tanpa ia menjawab pertanyaanku, ia sudah meninggalkanku sendiri, sebuah pertanyaan yang di ambang fikiranku.
Instrumen…
Maaf..
Apa maksud semua ini.
10 November 2012
Hapeku berdering, ketika ku bangkit dari tidur nyenyakku, sebuah pesan singkat muncul pada layar handphoneku.
“Alvin” sebuah nama yang pertama kali terjangkau penglihatanku pada layar handphone. Seketika ku membuka isi pesan Alvin.
From: Alvin
Ova, sedang apakah? Aku ingin mengajakmu satu hari ini saja, ada hal penting.
“ada apa ya kira-kira, hmm” langsung ku replay sms Alvin.
To: Alvin
Hari ini, aku free. Oke, gak masalah.
Tak lama kemudian, suara ketuk pintu terdengar bersahutan.
“Naufa! ada Alvin menunggumu di depan” suara Ibuku membuatku kaget, Alvin benar-benar datang.
“iya, Ibu. Tunggu bentar lagi” dengan cepat ku persiapkan diriku, dan setelah semuanya cukup, ku langsung menuju ruang depan.
“Alvin” sapaku dari belakang tubuh Alvin yang tampak berdiri melihat halaman depan rumah.
“hy Ova! Udah siap?”
“memang kita mau kemana?” tanyaku penasaran.
“sssttt… diam, udah yuk berangkat!” setelah ku dan Alvin berpamitan, ku mengikuti langkahnya menuju Honda Jazz biru yang terparkir di halaman rumahku, dengan cepat mobil itu langsung melesat.
“Alvin, memang kita mau kemana sih?”
“Hehehe, masih di Indonesia kok Va, panitia travel akan bertanggung jawab penuh atas penumpangnya. Jadi, gak usah khawatir, oke! Cuma 1 persyaratannya, kamu harus nurut” pidato pembukaan Alvin membuatku tercekat.
“ha? Aku makin bingung deh!”
“hehehehe!” tak lama kemudian mobil mencuat ke suatu daratan yang asing, mungkin ini daerah pegunungan. Dan tiba-tiba Alvin menghentikan mobilnya, mengambil sebuah sapu tangan dari dashboard.
“dan ini, merupakan bagian dari tata tertib persyaratan” Alvin memakaikan sapu tangan untuk menutupi kedua mataku.
“aduuh, apa-apaan sih ini” desisku mencoba melepas sapu tangan konyol ini tapi tanganku dicegah oleh Alvin.
“eits, harus nurut!”
“iya, deh”
“jangan sampai dibuka lo! Awas kalau curang!” tegas Alvin sekali lagi.
“siap boss!!” kataku sambil posisi menghormat ke depan, padahal Alvin berada di sampingku, terdengar suara tertawa kecil Alvin.
Mobil yang aku tumpangi serasa naik dan menuruni perbukitan, meleok-leok kadang gelap kemudian terang lagi akibat sinar menyengat tubuhku. Aku tak bisa menebak-nebak kemana tujuanku bersamanya.
Sekian lama perjalanan ini, akhirnya mobil terasa berhenti, sejenak aku tunggu perintah Alvin agar aku membolehkan membuka mataku, tetapi perintah itu tak kunjung datang.
“Alvin” sapaku.
“…” senyap.
“Alvin!” kataku setengah berteriak sambil meraba-raba jok sopir, tapi tak ada seorang pun. “Alvin, kamu dimana? Al..”
Tiba-tiba semilir angin menyibakku dari arah kiri, jendela depan terbuka. “Alvinn”
“nyonya Ova, silahkan turun” suara Alvin terdengar dari luar jendela, ku turuti perintah Alvin. “sekarang jalan, ya!”
Ku tertatih melangkah mengikuti langkah Alvin, angin yang menenangkanku, damai, tempat dimanakah ini? Seribu pertanyaan yang sama berkecamuk di fikiranku, tiba-tiba sandalku di lepas oleh Alvin, membiarkan kaki-kaki telanjangku merasakan tanah, dan pasir. Ku merasakan butiran pasir yang mulai menempel di telapak kakiku, dan sesaat sebuah air menyibakku dari arah depan menyentuh kakiku. Sayup-sayup instrumen mulai terdengar. Sejenak indraku berfungsi menebak indra perasaku.
“ombak!, ini suara deburan ombak, laut dan pasir putih” decakku hampir tak percaya dengan semua ini.
“sebuah instrumen yang paling indah” Alvin bersuara. “sekarang kamu boleh membuka mata kamu” seketika ku langsung melepas sapu tangan yang menutupi mataku. Dan, hamparang gunung, lautan lepas, pasir putih, burung-burung yang bertebangan bersamaan suara ombak semuanya indah. Pantai yang indah, penglihatanku tak henti-hentinya menyapu semua seluruh pemandangan indah di depanku ini, hanya ada aku dan Alvin di tengah-tengah luasnya hamparan pasir dan laut yang tak bertepi.
“Alvin, indah banget” suaraku parau hampir tak percaya.
“seindah persahabatan kita” dengan tenang, pernyataan Alvin membuatku terkejut. “laut yang memainkan instrumennya dengan deburan ombak-ombaknya sama seperti kamu yang memainkan instrumenmu dengan menjaga persahabatan kita” perkataan Alvin membuatku tersenyum.
“ini juga instrumenmu”
“tapi, kamu yang memainkannya”
“jadi?”
“aku bahagia punya sahabat kayak kamu” ucap Alvin.
“tunggu dulu, sa-ha-bat?” tanyaku untuk meyakinkan.
“iya, cinta jadi sahabat terus selalu dekat. Haha, bukan sahabat jadi cinta terus jadi musuhan deh”
“hahahhaa, makasih Alvin” jawabku terharu.
“seharusnya aku yang berterimakasih pada kamu” dengan lembut Alvin merengkuhku dengan hangat, sehangat angin semilir serta sinar matahari saat ini.
“kita akan jadi sahabat, selamanya kita akan selalu dekat” ucapku dan Alvin hampir bersamaan.
“hahahaha” kami tertawa bahagia menikmati indahnya persahabatan kami.
- end -


0 comments:

Post a Comment